Public Lecture UU Nomor 32 Tahun 2009

PPE Bali dan Nusra melaksanakan Public Lecture mengenai UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup  pada 6 Maret 2015. Kegiatan yang dilaksanakan di ruang rapat PPE Bali dan Nusra BLH Provinsi dan  kabupaten/kota di Provinsi Bali serta Biro Hukum Provinsi Bali serta Bagian Hukum di Pemerintah Daerah kabupaten/kota se-Provinsi Bali.

Yang diinformasikan dalam public lecture  ini adalah Implikasi hasil keputusan Mahkamah Konstitusi  (MK) terhadap UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup . Public Lecture disampaikan oleh Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Disampaikan bahwa berdasarkan keputusan  MK  terdapat beberapa perubahan dalam UU Nomor 32 tahun 2009 tersebut yaitu:

  1. Pasal 59 yang mengatur tentang Pengelolaan Limbah B3 yang berbunyi  Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Berdasarkan keputusan MK, maka pasal ini haruslah dimaknai bahwa pihak pengelola limbah yang sedang dalam proses perpanjangan izin pengelolaan LB3 dianggap telah memiliki izin pengelolaan LB3

  1. Pasal 95 yang mengatur tentang Penegakan hukum terpadu  yang pada ayat (1) berbunyi “ Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukumterpadu antara penyidik pegawai negeri, kepolisian, dan kejaksaan dibawah koordinasi Menteri.  Mengalami perubahan menjadi dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini, dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik PPNS, kepolisian, dan kejaksaan dibawah koordinasi Menteri’.

Selain itu  kata ‘dapat’ dalam pasal 95 ayat (1) UU No.32 Tahun 2009 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.Frasa ‘tindak pidana lingkungan hidup’ dalam pasal 95 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal tersebut harus dimaknai ‘termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini’.

Dengan demikian implikasi hukum dari perubahan pasal tersebut adalah:

  • Semua tindak pidana lingkungan hidup dilaksanakan dengan kerangka penegakan hukum terpadu antara penyidik PPNS, POLRI dan kejaksaan dibawah koordinasi Menteri LHK.  Sehingga apabila penyidik POLRI hendak melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan, maka harus melaksanakannya dibawah koordinasi Menteri LHK.
  • Tindak pidana lainnya (non tindak pidana lingkungan hidup) yang bersumber dari pelanggaran UU No.32 Tahun 2009, misalnya tindak pidana korupsi, atau tindak pidana pencucian uang, maka pelaksanaan penegakan hukumnya harus dilakukan secara terpadu antara penyidik PPNS, POLRI dan Kejaksaan, dan berada di bawah koordinasi Menteri LHK. Dalam hal ini Menteri LHK mempunyai kewenangan sebagai koordinator dalam tindak pidana non tindak pidana lingkungan, sepanjang sumber dari tindak pidana tersebut berasal dari UU 32 tahun 2009.
  • Untuk melaksanakan mandat putusan MK ini maka Kementerian LHK harus mempersiapkan sistem dan mekanisme penegakan hukum terpadu dimana penyidik (PPNS dan Polri) serta  jaksa penuntut bekerja dalam satu koordinasi yaitu berada dibawah  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Disampaikan pula dalam  Public Lecture ini bahwa dengan adanya mandat MK ini, terdapat beberapa keuntungan yang diperoleh yaitu:

  1. Pelaksanaan penegakan hukum lingkungan berada dalam satu komando dan kebijakan;
  2. Menghindari perbedaan persepsi antara penyidik dan jaksa penuntut;
  3. Tugas dan pekerjaan lebih terkonsentrasi, sehingga lebih fokus, trampil dan trengginas;
  4. Koordinasi menjadi lebih mudah karena berada dalam satu koordinator.

Dengan adanya mandat MK ini, maka perlu UU Nomor 32 tahun 2009 ini perlu disosialisasikan kembali kepada masyarakat dan stakeholder terkait tentang beberapa perubahan dan implikasi hukum terhadap pelaksanaan UU 32 tahun 2009 ini.

Top