Perempuan, Kesetaraan Gender Dan Perubahan Iklim
Efek yang merugikan dari perubahan iklim dapat dirasakan dalam jangka pendek melalui bencana alam, seperti tanah longsor, banjir dan badai; dan dalam jangka panjang, lebih melalui degradasi lingkungan yang terjadi secara bertahap. Efek samping dari peristiwa ini sudah terasa di berbagai bidang, termasuk dalam kaitannya, antara lain, dengan pertanian dan ketahanan pangan; keanekaragaman hayati dan ekosistem; sumber daya air; kesehatan manusia; pemukiman dan pola migrasi manusia; dan energi, transportasi dan industri.
Terkait dengan situasi ini, dalam banyak hal perempuan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim daripada pria-terutama karena mereka bagian darimayoritasmasyarakat miskin dunia dan penghidupannya lebih tergantung pada sumber daya alam yang terancam oleh perubahan iklim.
Selain itu, mereka menghadapi hambatan sosial, ekonomi dan politik yang membatasi kapasitas mereka untuk mengatasinya. Perempuan dan laki-laki di daerah pedesaan di negara berkembang sangat rentan khususnya ketika mereka sangat tergantung pada sumber daya alam lokal untuk mata pencaharian mereka. Tuntutan tersebutdengan tanggung jawab untuk mengamankan air, makanan dan bahan bakar untuk memasak dan pemanasan menghadapi tantangan-tantangan terbesar. Kedua, kalau dikaitkan dengan akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya dan proses pengambilan keputusan, keterbatasan mobilitas menempatkan perempuan di daerah pedesaan pada suatu posisi di mana mereka dipengaruhi oleh perubahan iklim secara tidak proporsional. Dengan demikian penting untuk mengidentifikasi strategi yang peka terhadap gender untuk menanggapi krisis lingkungan dan kemanusiaan yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Bagaimana pun, penting untuk diingat bahwa perempuan tidak hanya rentan terhadap perubahan iklim, tetapi mereka juga aktor atau agen perubahan yang efektif terkait dengan mitigasi dan adaptasi. Perempuan sering memiliki pengetahuan dan keahlian yang kuat yang dapat digunakan dalam mitigasi perubahan iklim, strategi pengurangan bencana dan adaptasi. Selain itu, tanggung jawab perempuan dalam rumah tangga dan masyarakat, sebagai pengurus sumber daya alam dan rumah tangga, memposisikan mereka dengan baik untuk membantu dalam strategi penghidupan yang disesuaikan dengan realitas perubahan lingkungan.
Sebuah analisis tentang bagaimana perempuan dipengaruhi oleh masalah ini dan bagaimana mereka menanggapinya,disajikan di bawah ini bersama dengan referensi yang terkait dengan mandatdan sumber-sumber informasi dari PBB.
KEBUTUHAN AKAN RESPONYANG SENSITIF GENDER TERHADAP AKIBAT PERUBAHAN IKLIM
Perempuan, pertanian dan ketahanan pangan dalam konteks perubahan iklim.
Perubahan iklim memiliki konsekuensi serius dalam empat dimensi ketahanan pangan: ketersediaan pangan, kemudahan akses terhadap pangan, pemanfaatan pangan dan stabilitas sistem pangan. Saat ini petani perempuan mencapai 45-80% dari seluruh produksi pangan di negara-negara berkembang tergantung pada wilayahnya. Sekitar dua-pertiga dari angkatan kerja perempuan di negara-negara berkembang, dan lebih dari 90% di banyak negara Afrika, terlibat dalam pekerjaan pertanian. Dalam kaitannya dengan perubahan iklim, sumber makanan tradisional menjadi lebih tak terduga dan langka.
Perempuan menghadapi hilangnya penghasilan sama seperti panen – yang sering merupakan sumber penghasilan dan sumber makanan mereka satu-satunya. Terkait dengan hal tersebut kenaikan harga pangan membuat makanan semakin tidak dapat dijangkau oleh masyarakat miskin, khususnya wanita dan anak-anak perempuan yang kesehatannya ditemukan lebih menurun daripada kesehatanpria pada saat kekurangan pangan.
Lebih jauh, perempuan sering tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan untuk perolehan dan penggunaanlahanserta sumber-sumber daya penting untuk mata pencaharian mereka.
Untuk alasan ini, hak-hak perempuan pedesaan penting untuk dijamin berkaitan dengan ketahanan pangan, perolehan sumber-sumber daya yang tidak diskriminatif dan partisipasi yang setara dalam proses pengambilan keputusan.
Perempuan, kesetaraan gender dan keanekaragaman hayati dalam konteks perubahan iklim
Menurut Millennium Ecosystem Assessment, perubahan iklim akan lebih menjadipendorong utama hilangnya keanekaragaman hayati pada akhir abad ini. Keanekaragaman hayati memainkan peran penting dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Misalnya dalam keadaan dimanakerusakan hutan bertanggung jawab atas rata-rata 20% dari emisi karbon dioksida yang disebabkan oleh manusia, konservasi habitat alami dapat mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer. Tambahan lagi konservasi mangrove dan tanaman yang tahan terhadap kekeringan dapat mengurangi dampak perubahan iklim seperti banjir dan kelaparan.
Di daerah pedesaan Afrika dan Asia, perempuan dan laki-laki sangat tergantung pada biomasa, seperti kayu, tanaman pertanian, sampah dan sumber daya hutan untuk energi dan mata pencaharian mereka. Namun, dalam menghadapi perubahan iklim, kemampuan perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan sumber daya yang sangat diperlukan menjadi berkurang. Penting untuk dicatat bahwa keanekaragaman hayati menurun tidak hanya berdampak pada kesejahteraan material dan kehidupan masyarakat; itu juga melumpuhkan akses terhadap keamanan, ketahanan, hubungan sosial, kesehatan, dan kebebasan terhadap pilihan dan tindakan.
Sebagian besar penurunan keanekaragaman hayati memiliki dampak yang tidak proporsional terutama pada orang-orang miskin di negara-negara berkembang. Untuk memberikan beberapa contoh, penurunan populasi ikan memiliki implikasi besar bagi nelayan artisanal dan masyarakat yang bergantung pada ikan. Selain itu, di banyak bagian dunia, penebangan hutan yang berarti kayu – bahan bakar padat yang paling banyak digunakan–ditempatkan jauh dari tempat di mana orang hidup. Dalam masyarakat miskin di kebanyakan negara berkembang, wanita dan anak-anak perempuan yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan bahan bakar tradisional, tugas yang menguras fisik yang dapat memakan waktu dari 2 sampai 20 jam atau lebih per minggu. Akibatnya, wanita kurang mempunyai waktu untuk memenuhi tanggung jawab rumah tangga mereka, untuk mendapatkan uang, terlibat dalam politik atau kegiatan publik lainnya, belajar membaca atau memperoleh keterampilan lainnya, atau hanya beristirahat. Para anak perempuan kadang-kadang pulang dari sekolah tinggal di rumah untuk membantu mengumpulkan bahan bakar, mengabadikan siklus ketidakberdayaan. Bahkan kalau kerusakan lingkungan memaksa mereka untuk mencari sumber dayalebih jauh, wanita dan anak perempuan menjadi lebih rentan terhadap cedera akibat membawa beban berat dalam jarak jauh, dan juga menghadapi peningkatan resiko pelecehan dan kekerasan seksual.
Keanekaragaman Hayati, Perempuan Pribumi Dan Perubahan Iklim
Keanekaragaman Hayati juga datang dalam bentuk kekayaan pengetahuan tentang lingkungan yangdimilikipenduduk lokal dan masyarakat. Kearifan lokal mengandung: pemahaman dari nenek moyang yang berpindah-pindah tentang makanan, tanaman obat dan hewan domestik; hubungan simbiosis dengan ekosistem; kesadaran akan struktur ekosistem dan fungsi spesies tertentu; serta rentang geografis dari spesies tersebut.
Untuk lebih melestarikan keanekaragaman hayati dan membatasi degradasinya, penduduk asli dapat dan harus memainkan peran utama dalam menanggapi secara global perubahan iklim. Ini harus sangat ditekankan berkaitan dengan perempuan pribumi yang memainkan peran penting sebagai pengurus sumber daya alam. Keterlibatan yang lebih besar dari penduduk pribumi dan perempuan pribumi lebih memvalidasi pentingnya pengetahuan mereka.
Perempuan, Kesetaraan Gender Dan Sumber Daya Air Dalam Konteks Perubahan Iklim
Perubahan iklim memiliki dampak yang signifikan terhadap sumber air tawar, yang mempengaruhi ketersediaan air yang digunakan untuk tugas-tugas domestik dan produktif. Konsekuensi dari peningkatan frekuensi banjir dan kekeringan membuatnya semakin jauh dicapai, khususnya bagi kelompok yang rentan, termasuk kaum perempuan yang bertanggung jawab untuk pengelolaan air di tingkat rumah tangga.
Di seluruh duniayang sedang berkembang, kaum wanita dan anak perempuan menanggung beban untuk mengambil air bagi keluarga mereka dan menghabiskan waktu yang cukup banyak untuk mengangkut air setiap hari dari sumber yang jauh. Air dari sumber yang jauh jarang cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan sering terkontaminasi, sehingga kaum wanita dan anak perempuan juga membayar harga yang sangat berat untuk sanitasi yang buruk. Sebagai contoh, dalam kasus di mana kontaminasi arsenik dari air tanah menonjol, peningkatan kadardalam makanan memperkuattingkat paparandi kalangan masyarakat pedesaan dan kelompok sosial-ekonomi yang kurang beruntung lainnya.
Masalah kesehatan yang dihasilkan meliputi: luka, pengerasan kulit, bintik-bintik gelap pada tangan dan kaki, tungkai bengkak dan hilangnya rasa.
Paparan arsenik juga memanifestasikan dirinya dalam bentuk luka kulit (lesi) yang biasanya memiliki dampak sosial buruk bagi para korban keracunan arsenik – situasi itu semakin buruk khususnya bagi kaum wanita yang bisa jadi dihindari, dikucilkan dan di cap,berdasarkan penampilanfisik-hal ini juga berdampak pada kamampuan kaum perempuan lajang untuk menikah, dan dalam banyak kasus perempuan yang belum menikah lebih rentan terhadap kemiskinan dan pengucilan sosial.
Mengingat perubahan iklim, akses yang kurang memadai terhadap air dan kualitas air yang buruk bukan hanya berdampak kepada kaum perempuan,tanggung jawab mereka sebagaipemberi utama dankesehatan keluarga mereka , juga berdampakpada produksi pertanian dan pemeliharaan ternak; dan meningkatkan jumlah keseluruhan tenaga kerja yang dikeluarkan untuk mengumpulkan, menyimpan, melindungi dan mendistribusikan air.
Perempuan, Kesetaraan Gender Dan Kesehatan Dalam Konteks Perubahan Iklim
Untuk kesehatan, beberapa skenario potensial perubahan iklim meliputi: peningkatan morbiditas dan mortalitas akibat gelombang panas, banjir, badai, kebakaran dan kekeringan. Terlebih lagi, risiko tertular penyakit serius yang diperburuk oleh ancaman bahaya lingkungan yang disebabkan oleh perubahan iklim. Disamping referensi yang diberikan di atas tentang iklimyang mempengaruhi kesehatan perempuan melalui kelangkaan dan pencemaran air, terdapat banyak buktiyang menghubungkan evolusi dan distribusi penyakit menular dengan iklim dan cuaca. Hal ini mengisyaratkan bahaya lebih besar dari penyakit menular seperti kolera, malaria, dan demam berdarah, sesuai dengan risiko perpanjangan musim dan pembagian geografis yang lebih luas dari pejangkit penyakit.
Sementara iklim menentukan pembagian geografis penyakit menular, cuaca mempengaruhi waktu dan tingkat keparahan wabah. Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk, misalnya, sangat sensitif terhadap variasi iklim. Kehangatan mempercepat laju gigitan nyamuk dan mempercepat proses pematangan parasit yang mereka bawa. Sub-Sahara Africa sudah merupakan rumah bagi spesies nyamuk yang paling efisien dan dalam bentuk yang paling parah dari malaria. Meningkatnya suhu cenderung mempercepat siklus hidup parasit malaria dan menyebarkan malaria ke daerah baru.
Selain itu, makanan – yang meningkat secara konsisten dengan perubahan iklim – jugadapat meningkatkan prevalensi penyakityang berhubungan dengan air, terutama penyakit-penyakit yang ditimbulkan olehair dan vektor penyakit, yang diderita oleh jutaan orang miskin setiap tahun. Sebagai tambahan, peningkatan prevalensi penyakit akan cenderung memperburukpelayanan perawatan perempuan kepada keluarga dan anggota masyarakat yang sakit. Penyakit ini termasuk malaria, onchocerciasis, schistosomiasis dan diare.
Perempuan, Kesetaraan Gender Dan Perubahan Dalam Pemukiman Manusia Dan Pola Migrasi Akibat Kerusakan Lingkungan
Perubahan iklim menambah kompleksitas baru pada bidang mobilitas dan pemukiman manusia karena degradasi lingkungan yang memburuk. Proses kerusakan lingkungan yang terjadi secara bertahap cenderung menambah arus migrasi manusia baik internal maupun lintas batas selama beberapa dekade mendatang. Peningkatan migrasi manusia mensyaratkan bahwa sejumlah besar orang sedang mengungsi karena peristiwa cuaca pesisir yang parah, erosi garis pantai, banjir pesisir, kekeringan dan gangguan pertanian. Sebagai contoh, Topan Nargis yang melanda wilayah Delta Irrawaddy di Myanmar pada bulan Mei 2008 berdampak pada 2,4 juta orang dan menyebabkan perpindahan 800.000 orang. Sama halnya dengan disertifikasi yang menyedihkan pada lahan kering di wilayah Meksiko menyebabkan 600.000 hingga 700.000 orang bermigrasi dari daerah-daerah tersebut setiap tahunnya. Konsekuensi migrasi dari faktor lingkungan mengakibatkan tingkat kematian yang lebih tinggi bagi kaum perempuan di negara-negara kurang berkembang, karena terkait langsung dengan status sosial ekonomi mereka, pembatasan perilaku dan kurangnya akses terhadap informasi.
Ketika migrasi merupakan respon bertahan hidup terhadap perubahan iklim, sering pemukiman manusia semakin memperburuk hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem. Hal ini terjadi mengingat bahwa migrasi memerlukan perubahan besar dalam penggunaan lahan, modifikasi fisik sungai atau pengambilan air dari sungai, hilangnya terumbu karang, dan kerusakan arus laut.
Implikasi Dari Perubahan Iklim Bagi Hak Asasi Perempuan
Studi menunjukkan bahwa pemanasan global dan kondisi cuaca ekstrim dapat berdampak bencana terhadap hak asasi manusia bagi jutaan orang. Pemanasan global adalah salah satu penyebab utama dan kontributor terbesar untuk kelaparan dunia, kekurangan gizi, paparan penyakit, dan mengurangi akses terhadap air. Terlebih lagi pemanasan global dan cuaca ekstrim membawa dampak keterbatasan terhadap perumahan yang layak, memacu hilangnya mata pencaharian sebagai akibat dari perpindahan yang permanen. Perubahan iklim mempengaruhi hak-hak ekonomi dan sosial individu yang tak terhitung jumlahnya; termasuk hak mereka akan makanan, kesehatan dan tempat tinggal. Karena perubahan iklim pasti akan terus mempengaruhi hidup manusia, maka prioritas utama PBB untuk menjaga hak asasi orang-orang yang hidupnya paling sering secara tak terduga terkena dampaknya.
RESPON YANG SENSITIF GENDERTERHADAP PERUBAHAN IKLIM
Menggabungkan Perspektif Gender Dan Melibatkan Perempuan Sebagai Agen Perubahan Untuk Usaha Penanggulangan
Terdapat empat bidang yang telah diidentifikasi sebagai pilar penting dalam menghadapi perubahan iklim: mitigasi, adaptasi, transfer teknologi dan pendanaan. Dua pilar pertama terkait dengan manifestasi perubahan iklim; dan dua pilar terakhir terkait dengan sarana untuk mencapai tujuan pembangunan. Mitigasi mencakup proses membatasi emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia, misalnya emisi dari bahan bakar fosil serta perusakan hutan, dengan maksud untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca pada tingkat yang aman. Adaptasi mencakup berbagai kegiatan untuk mengurangi kerentanan dan membangun ketahanan pada sektor-sektor utama, seperti air, pertanian dan pemukiman. Teknologi yang baru dan ditingkatkan serta inisiatif pembiayaan di semua tingkatan juga perlu mendapat perhatian sebagai bagian dari upaya kolektif untuk mengatasi perubahan iklim.
Usaha mitigasi dan adaptasi harus memperhatikan secara sistematis dan efektif dampak spesifik gender dari perubahan iklim di bidang, antara lain, ketahanan pangan, pertanian dan perikanan; keanekaragaman hayati; air; kesehatan; hak asasi manusia; dan perdamaian serta keamanan.
Mekanisme pembiayaan harus cukup fleksibel untuk mencerminkan prioritas dan kebutuhan perempuan. Partisipasi aktif te perempuan dalam pengembangan kriteria pendanaan dan alokasi sumber daya untuk inisiatif perubahan iklim sangat penting, terutama di tingkat lokal. Analisis gender dari semua lini anggaran dan instrumen keuangan untuk perubahan iklim diperlukan untuk memastikan investasi yang sensitif gender dalam program-program untuk adaptasi, mitigasi, transfer teknologi dan peningkatan kapasitas.
Perkembangan teknologi yang berkaitan dengan perubahan iklim harus memperhatikan prioritaskhusus kaum perempuan, kebutuhan-kebutuhan dan peran mereka, serta memanfaatkan sepenuhnya pengetahuan dan keahlian mereka, termasuk pengetahuan lokal dan praktek-praktek tradisional. Keterlibatan perempuan dalam pengembangan teknologi baru dapat memastikan bahwa tecknologi tersebut mudah digunakan, terjangkau, efektif dan berkelanjutan. Ketidaksetaraan gender dalam akses terhadap sumber-sumber daya, termasuk kredit, penyuluhan, informasi dan teknologi, harus diperhitungkan dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mengatasi perubahan iklim. Perempuan juga harus memiliki akses yang sama terhadap program-program pelatihan, kredit dan pengembangan keterampilan untuk memastikan partisipasi penuh mereka dalam inisiatif perubahan iklim.
Oleh sebab itu pemerintah harus didorong untuk memasukkan perspektif gender kedalam kebijakan nasional, rencana aksi dan langkah-langkah lain pada pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim, dengan melakukan analisis gender yang sistematis; mengumpulkan dan menggunakan data terpisah menurut jenis kelamin; menetapkan tolok ukur dan indikator yang peka gender; dan mengembangkan alat-alat praktis untuk mendukung peningkatan perhatian terhadap perspektif gender.
Konsultasi dan partisipasi perempuan dalam inisiatif perubahan iklim harus dijamin, dan peran kelompok dan jaringan perempuan diperkuat. Saat ini perempuan kurang terwakili dalam proses pengambilan keputusan pada tata kelola lingkungan. Mereka harus sama-sama terwakili dalam struktur pengambilan keputusan untuk memungkinkan mereka memberikan pandangan dan keahlian mereka yang unik dan berharga terhadap perubahan iklim. Wanita dapat memberikan kontribusi substantif melalui pengetahuan dan pengalaman mereka tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. Misalnya, perempuan dalam posisi kepemimpinan- di tingkat nasional, daerah dan kelompok masyarakat-telah menujukkan perbedaan dalam menanggulangi bencana alam, baik dalam usaha penyelamatan dan evakuasi darurat serta rekonstruksi pasca-bencana, sama halnya sebagaimana dalam pengelolaan sumber daya alam yang penting , seperti air tawar.
Perempuan, Kesetaraan Gender Dan Energi
Secara khusus energi merupakanbidang yang sangat kritis dan energi terbarukan sering disebut sebagai kunci teknologi mitigasi perubahan iklim. Banyak orang mempertanyakan peran perempuan dalam permasalahan energi, dimana energi terutama dipandang dalam pengertian: listrik untuk mengoperasikan peralatan dan perlengkapan, bensin dan bahan bakar diesel untuk motor dan kendaraan, dan pengiriman minyak untuk gas alam. Berurusan dengan media-media yang berbeda ini (listrik dan bahan bakar) sering dianggap sebagai pekerjaan laki-laki, di mana perempuan tidak diharapkan untuk terlibat dengan pembangkit listrik dan distribusi bahan bakar. Sebagai hasil dari pemikiran tersebut, perempuan dan laki-laki menghadapi perbedaan-perbedaan dalam pelatihan dan harapan-harapan sosial, di mana perempuan biasanya tidak disertakan dalam diskusi tentang rencana dan kebijakan di bidang energi. Pengecualian ini juga berarti bahwa perempuan tidak berpartisipasi, juga tidak memberikan kontribusi untuk memperluas strategi-strategi kunci dalam mitigasi perubahan iklim. Bagaimanapun, di banyak negara berkembang, terutama di daerah-daerah termiskin, sebagian energi saat ini berasal dari bahan bakar biomassa tradisional seperti kayu, arang, dan limbah pertanian – dan mengumpulkan serta mengelola bahan bakar ini adalah benar-benar urusan perempuan. Hal ini mendukung bahwa kurangnya pengakuan peran perempuan di sektor energi, menyebabkan kebijakan energy yang ‘buta gender’ (ini adalah untuk mengatakan bahwa gender tidak dipertimbangkan) yang gagal untuk mengatasi beberapa faktor yang paling mendesak yang sedang mempengaruhi kapasitas negara-negara berkembang untuk melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Kaitan antara pasokan energi, peran gender dan perubahan iklim sangat kuat di negara-negara dengan ketersediaan dasar listrik dan bahan bakar modern rendah, serta ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar biomassa untuk memasak, pemanasan dan pencahayaan – dan hampir dua miliar orang di dunia berkembang menggunakan bahan bakar biomassa tradisional sebagai sumber energi utamamereka. Di negara-negara ini, tradisi-tradisi budaya membuat wanita yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan bahan bakar dan menyediakan makanan, bahkan ketika hal ini menuntut waktu yang panjang untuk melakukanpekerjaan fisik yang berat atau bepergian dengan menempuh jarak yang lebih jauh. Dengan serangan perubahan lingkungan yang parah, perempuan cenderung terus menghabiskan waktu yang panjang(bahkan mungkin lebih lama) untuk mengumpulkan kayu bakar, mengambil air, mengolah lahan, dan menggiling tanamangandum.
Mengingat banyaknya tanggung jawab dan tugas-tugas ini, perempuan di negara-negara berkembang harus secara aktif terlibat dalam pengambilan keputusan energi nasional. Perempuan harus diberikan keterlibatan yang lebih besar sehingga pasokan energi dapat dikelola secara lebih efektif dan produktif dalam menghadapi perubahan iklim, dan juga agar ketergantungan pada bahan bakar biomassa dapat diakhiri, mengangkat masyarakat keluar dari keterpurukan kemiskinan.
Perempuan, Kesetaraan Gender Dan Teknologi Dalam Respon Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim
Kata “teknologi” secara khas dikenaldengan arti alat atau mesin semata. Namun, istilah ini sekarang berkembang ke konsep yang lebih luas yang juga mencakup pengetahuan, proses, kegiatan, dan konteks sosial budaya. Dengan demikian, teknologi mencerminkan dasar kehidupan sehari-hari dan menyentuh sebagian besar aspekkehidupan perempuan dan laki-laki. Selain itu, sebagian besar metode adaptasi terhadap perubahan iklim melibatkan beberapa bentuk teknologi: ini dapat mencakup teknologi “lunak” yang didasarkan pada skema asuransi, pola pergiliran tanaman atau pengetahuan tradisional; dapat juga termasuk teknologi “keras” seperti sistem irigasi, tanaman yang tahan kekeringan atau pertahanan laut.
Teknologi tidak pernah netral gender dan ketika digabungkan dengan efek negatif dari perubahan iklim, itu bahkan kurang sensitif gender. Di banyak negara berkembang, akses anak perempuan dan perempuan terhadap informasi dan teknologi komunikasi dibatasi oleh: bias sosial dan budaya, infrastruktur teknologi yang tidak memadai di daerah pedesaan, tingkat pendidikankaum perempuan yang lebih rendah(terutama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi) dan ketakutan atau kurangnya minat dalam teknologi, dan kurangnya pendapatan kaum perempuan untuk membeli layanan teknologi.
Sejak Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) memposisikan teknologi bersih sebagai pusat respon global terhadap perubahan iklim, teknologi telah menjadi semakin relevan dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Pada saat yang sama, sejumlah mekanisme dan kerangka kerja dari PBB sudah mulaimenangani perubahan iklim dan teknologi. Selain itu, Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) yang muncul dari Protokol Kyoto memungkinkan negara-negara industri untuk berinvestasi dalam proyek-proyek yang mengurangi emisi di negara berkembang sebagai alternatif pengurangan emisi yang lebih mahal di negara mereka sendiri. Bagaimanapun masalahnya, adalah bahwa sampai saat ini, kesetaraan gender diberikan perhatian minimal dan tingkat perbedaan dalam dampak perubahan iklim terhadap perempuan dan laki-laki telah diabaikan. Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa keterlibatan yangsetara antara perempuan dan laki-laki dalam semua aspek proyek perubahan iklim, termasuk teknologi, gaji; hal ini terutama berlaku dalam kasus teknologi yang ditujukan untuk tugas yang paling sering dilakukan oleh perempuan.
Agar menjadi efektif, teknologi adaptasi dan mitigasi perlu menjangkau mereka yang paling membutuhkan -yang miskin dan rentan. Ini berarti bahwa upaya yang ditargetkan harus memastikan pertama-tama memahami bahwa situasi perempuan dapat berbeda dari laki-laki, kedua bahwa teknologi dirancang sedemikian rupa agar relevan dengan keadaanmereka, dan ketiga memastikan bahwa mereka diberi akses sepenuhnya terhadap pengetahuan, informasi dan teknologi yang berkaitan dengan adaptasi.
Perempuan, Kesetaraan Gender Dan Pembiayaan Mitigasi, Adaptasi Dan Teknologi Dalam Kaitannya Dengan Perubahan Iklim
Sumber daya yang signifikan diperlukan untuk menutupi biaya barang, jasa dan teknologi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan langkah-langkah perubahan iklim di negara berkembang dan maju. Instrumen pembiayaan perubahan iklim seharusnya dibangun sesuai dengan tingkat perkembangan ekonomi yang berbeda dari negara-negara yang berbeda pada ekonomi global. Bagaimanapun, faktor-faktor seperti ketidaksetaraan gender dalam memperoleh barang-barang sosial dan fisik; kesenjangan gender dalam pendidikan, pendapatan, penggunaan waktu dan rekreasi; serta peran dan tanggungjawab gender yang dibeda-bedakan dalam rumah tangga, masyarakat dan bursa tenaga kerja mempengaruhi penyaluran pembiayaan yang efektif bagi perempuan. Contoh pertama, respon dan kemampuan perempuan untuk mengatasi permasalahan perubahan iklim tergantung pada ketahanan mereka pada kesehatan dan kesejahteraan yang mendasar serta luasnya jaringan sosial mereka. Dalam contoh kedua, kemampuan perempuan untuk beradaptasi dengan tuntutan perubahan iklim tergantung pada sejauh mana kontrol mereka atas sumber daya ekonomi dan akses terhadap sumber daya ekonomi dan keuangan.
Untuk mengatasi dengan sukses tantangan manajemen risiko, kesiapsiagaan menghadapi bencana dan tantangan-tantangan perubahan iklimtermasuk cuaca membutuhkan sumber daya diluar dari apa yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari individu dan rumah tangga. Memberdayakan dan menanam investasi pada kaum wanita adalah kunci untuk memerangi efek desertifikasi dan membuka jalan bagi pengentasan kemiskinan di negara-negara berkembang di dunia. Namun, di bawah rezim pembiayaan perubahan iklim saat ini, perempuan tidak memiliki akses yang cukup terhadap dana yang ditujukan untuk menutupi kerugian yang berhubungan dengan cuaca, juga mereka tidak memiliki dana untuk layanan teknologi adaptasi dan mitigasi.
Perempuan, Kesetaraan Gender Dan Tindakan Darurat Selama Bencana Alam
Pada tingkat yang paling dasar, tingkat kematian bagi perempuan dan laki-laki sering berbeda dalam bencana alam. Sebuah studi tahun 2006 atas 141 bencana alam yang dilakukan oleh London School of Economics menemukan bahwa ketika hak-hak ekonomi dan sosial dipenuhi untuk kedua jenis kelamin, jumlah perempuan dan laki-laki yang meninggal dalam bencana sama. Pada saat yang sama, ketika perempuan tidak menikmati hak-hak ekonomi dan sosial yang sama dengan laki-laki, lebih banyak perempuan meninggal daripada laki-laki dalam bencana. Perbedaan jenis kelamin ini telah menyingkap berbagai bencana besar, termasuk Tsunami Asia; Badai Mitch, Badai Katrina, dan badai lainnya di Amerika,badai hawa panasdi Eropa, dan badai di Asia Selatan, dll. Dalam beberapa kasus, seperti di Amerika Tengah, lebih banyak pria daripada wanita tewas dalam bencana alam karena mereka menempuh risiko untuk menolong keluarga mereka.
Kerentanan perempuan terhadap bencana meningkat karena sejumlah alasan. Pasca bencana, perempuan biasanya lebih berisiko ditempatkan di tempat yang tidak aman, tempat penampungan yang penuh sesak, karena kurangnya aset, seperti tabungan, harta benda atau tanah. Dalam konteks badai, makanan, dan bencana lain yang memerlukan mobilitas, kendala budaya pada gerakan perempuan dapat menghalangi pelarian mereka yang tepat waktu, menghalangi akses ke tempat penampungan atau akses ke perawatan kesehatan. Yang memperburuk efek ini, wanita sering menghindari menggunakan tempat penampungan karena takut akan kekerasanrumah tangga dankejahatan seksual, dan menjadi lebih kurang bergerak sebagai pengasuh utama keluarga. Kaum perempuan miskin dan mereka yang tinggal di negara-negaradimana ketidaksetaraan genderlebih tinggi tampaknya memiliki risiko tertinggi: korelasi langsung telah diamati antara status perempuan dalam masyarakat dan kemungkinan mereka menerima perawatan kesehatan yang memadai pada saat bencana dan tekanan lingkungan.
PBB telah mengidentifikasi degradasi lingkungan sebagai ancaman utama terhadap keamanan manusia. Semua negara-negara pasca-konflik menghadapi masalah lingkungan hidup yang serius yang dapat merusak proses perdamaian, jika dibiarkan belum terselesaikan; dan secara khusushal tersebut berpengaruh buruk pada kaum perempuan yang dihadapkan pada suatu kombinasi kesulitan.
Dengan demikian penting untuk mengidentifikasi strategiyang sensitif gender untuk menanggapi kebutuhan keamanan manusia serta krisis lingkungan dan kemanusiaan yang disebabkan oleh perubahan iklim. Upaya ini harus fokus pada: mengurangi kerentanan perempuan, bersama-sama dengan kerentanan pria; mempromosikan tanggap darurat yang sensitif gender; dan mencatat perempuan sebagai pelaku utama lingkungan hidup dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan bencana alam, berdampingan dengan kaum pria, dengan menekankan pada ketrampilan, pengetahuan dan kepemimpinan perempuan dalam upaya mitigasi dan adaptasi.
Terjemahan atas : Fact Sheet (Women, Gender Equality and Climate Change)
Sumber: www.un.org/womenwatch/feature/climate _change