Gas for Clean Bali
Denpasar, 13 Desember 2014. Pusat Pengelolaan Ekoregion (PPE) Bali dan Nusa Tenggara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama dengan Pemerintah Provinsi Bali hari ini menyelenggarakan Kampanye Lingkungan Pencanangan “Gas for Clean Bali”. Kegiatan ini sejalan dengan upaya Pemerintah Provinsi Bali untuk mewujudkan Bali Clean and Green Province, serta target nasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca menjadi 26% dengan usaha sendiri dan hingga 41% dengan dukungan internasional dalam tahun 2020 dari bussiness as ussual. Program ini bertujuan untuk meningkatkan penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG) yang telah terbukti memberikan kontribusi terhadap reduksi Gas Rumah Kaca (GRK) dan menghasilkan emisi yang lebih bersih.
Kegiatan ini dihadiri oleh Sekretaris Kementerian Lingkungan Hidup, Rasio Ridho Sani; Staf Ahli Menteri KLH Bidang Energi Bersih dan Terbarukan, Sabar Ginting; Kepala PPE Bali dan Nusa Tenggara, Novrizal Tahar; Gubernur Provinsi Bali diwakili oleh Kepala BLH Provinsi Bali, Nyoman Sujaya, para pejabat SKPD Pemerintah Daerah Provinsi Bali; LSM; dunia usaha dan tokoh masyarakat. Sasaran kegiatan kampanye ini adalah terwujudnya Environmental Sustainable Transportation (transportasi ramah lingkungan). Strategi yang dapat dilakukan yaitu: (1) penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan, yaitu bahan bakar gas, bahan bakar rendah sulfur, atau bahan bakar bio-fuel; (2) menjadikan transportasi publik sebagai moda utama, dan (3) mendorong Nonmotorized transportation (sepeda, pedestrian, dsb).
Sekretaris Kementerian Lingkungan Hidup, Rasio Ridho Sani, dalam sambutannya mengatakan, “Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini sedang melakukan upaya pembahasan dengan K/L terkait serta stakeholder untuk mendorong penerapan standar emisi Euro-4. Penerapan standar emisi Euro-4 akan memberikan jaminan bahwa emisi gas buang kendaraan relatif akan lebih bersih, karena implikasi diterapkannya kebijakan tersebut adalah peningkatan kualitas bahan bakar (BBM) dan peningkatan teknologi kendaraan”. Sektor transportasi darat adalah merupakan kontribusi terbesar terhadap pencemaran udara perkotaan, 90% pencemaran kota berasal dari sektor transportasi, serta 23% emisi GRK (Gas Rumah Kaca) berasal dari sektor transportasi. Kondisi ini diperparah dengan laju pertumbuhan kendaraan yang sangat tinggi mencapai 9 juta unit kendaraan per tahunnya. Laju pertumbuhan kendaraan di Provinsi Bali mencapai angka 7% setiap tahunnya, sehingga rasio jumlah HmsKLH-123/12/2014 kendaraan di Bali mencapai 1 : 1,2, artinya setiap 1,2 orang terdapat 1 unit kendaraan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta pada 2012, cost of ilness yang ditimbulkan oleh pencemaran udara mencapai angka Rp. 38,5 triliun/tahun.
Dalam laporannya, Kepala PPE Bali dan Nusa Tenggara, Novrizal Tahar, mengatakan, “Target yang ingin dicapai dalam 5 tahun (2014-2019) kurang lebih 10.000 unit kendaraan atau 2,5% dari seluruh kendaraan di Bali menggunakan Bahan Bakar Gas, serta diharapkan Bali menjadi pionir dalam menerapkan standar Euro-4 pada tahun 2016-2017 untuk kendaraan jenis baru. Dengan demikian, Bali akan sejajar dengan standar emisi Singapura, Hongkong, dan negara-negara maju lainnya”. Hingga akhir 2014 seluruh kendaraan yang menggunakan gas di Bali baru berjumlah 20 unit kendaraan, dengan 3 SPBU yang tersedia. Tingginya laju pertumbuhan kendaraan, mengakibatkan tingginya konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM). Pada 2003-2014 konsumsi BBM bersubsidi berkisar 96 – 97% dan BBM non-subsidi 2,5 – 3,5%. Padahal kualitas BBM bersubsidi memiliki kualitas yang relatif tidak ramah lingkungan karena memiliki kandungan sulfur yang relatif tinggi dan akan berdampak pada emisi pencemaran yang ditimbulkannya. Untuk premium kandungan sulfur mencapai 100-200 ppm, sedangkan solar 2000- 3500 ppm. Sementara perbandingan kandungan sulfur dalam BBM di sejumlah negara seperti Singapura: 10 ppm, Hongkong: 10 ppm, Thailand: 50 ppm, Jepang: 10 ppm, Australia: 10 ppm, Amerika: 15 ppm, Malaysia: 50 ppm, dan Vietnam: 50 ppm. Penggunaan BBG yang ramah lingkungan sejalan dengan “Gerakan Nasional Penggunaan Bahan Bakar Rendah Sulfur” yang telah dicanangkan Pemerintah pada Juni 2014.
Masalah lain yang terjadi adalah dengan tuntutan energi yang semakin tinggi maka keberadaan sumber daya alam seperti BBM yang semakin menipis (cadangan minyak bumi kita tinggal 12 tahun lagi, sementara bahan bakar gas masih sangat panjang). Saat ini harga BBG jauh lebih murah yaitu untuk jenis LGV Rp. 5.100/liter, sedangkan CNG Rp. 3.100/liter. Dengan naiknya harga BBM dan maka saat ini adalah momentum untuk kita semua “move on” pada penggunaan bahan bakar yang lebih murah dan ramah lingkungan, yaitu BBG. Pada kegiatan kampanye GfCB dilakukan test drive pada kendaraan yang menggunakan bahan bakar gas. Upaya ini diawali dengan kegiatan Workshop Eco Driving/Eco Riding yang telah dilaksanakan pada 7 Nopember 2014 yang lalu di Denpasar. Gerakan GfCB akan menjadi sangat efektif apabila dilakukan dengan perilaku mengemudi yang berwawasan lingkungan (eco-driving). Hasil riset menunjukkan bahwa perilaku mengemudi yang berwawasan lingkungan (eco-driving) dapat menghemat penggunaan bahan bakar mencapai 10-20%. Artinya, apabila semua masyarakat Indonesia melakukan perilaku eco-driving, Indonesia dapat mengurangi penggunaan BBM sebesar 140.000-200.000 barrel per hari. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan angka pertumbuhan kebutuhan bahan bakar setiap tahunnya.